Sabtu, 01 Oktober 2011

Di Bawah Sinar Mentari

Rintik hujan mulai berjatuhan, aku berjalan dengan cepat. Aku melihat sebuah cafe yang tampak tidak begitu ramai pengunjung. Setelah memesan minuman hangat, aku mengeluarkan sebuah buku. Tak ada yang dapat kulakukan saat cuaca seperti ini, selain menunggu hingga hujan berhenti. Seorang pelayan, mengahmpiriku. Ia menyodorkan sebuah gelas kepadaku. Baru saja aku menikmati cappucino hangat milikku, iapun melintas di depanku. Aku mengalihkan pandanganku ke arahnya. Ia tampak begitu jelas dari sisi ini. Aku memperhatikannya diam-diam. Pikiranku mulai mencoba mengingat masa laluku yang singkat dengannya. Aku tidak menyesal telah melepaskannya, karena aku tahu kebahagiaannya jauh lebih penting dari keegoisanku.
Aku mengaguminya sejak pertama kali aku berkenalan dengannya. Dia adalah perempuan pertama yang mampu menarik perhatianku. (http://fiction-area.blogspot.com/) Namun, aku tidak mempunyai keberanian yang kuat untuk menyatakan perasaanku. Kini, aku hanya bisa memendam rasa dalam hatiku. Meskipun terlihat mendramatisir, tapi inilah aku, seseorang dengan perasaan yang tak berharga.
Hujan sudah berhenti, aku bergegas meninggalkan tempat ini. Kupandang ia untuk terakhir kalinya. Ingin ku menghampirinya untuk sekedar memberi salam. Namun, aku rasa sudah cukup rasa sakit ini menderaku. Aku tak ingin ada orang lain yang tau penderitaanku karena menyayanginya. Tiba-tiba ia memandangku, aku melambaikan tangan agar ia tak merasa aku sedang memperhatikannya. Ia membalas lambaian ku, aku memberikan senyum terakhir, sebelum akhirnya aku meninggalkan tempat ini.

###

Dua tahun yang lalu...

Aku berlari menuju lapangan susah payah, dengan menenteng sebuah semangka yang bisa dibilang berat. Tiba-tiba seseorang berdiri dihadapanku, aku yang terkejut tak sempat menghentikan langkahku sehingga akupun terjatuh. Ia menunjukku, memberi isarat kepadaku agar aku berdiri.
“he, di rumah kamu punya jam ga, sih?” nadanya sedikit membentak
“pu, punya kak.” aku menjawab patuh
“kalo punya, kamu harusnya tau waktu.”
“maaf kak,”
“denger, kalo kata maaf bisa nyelesaikan masalah, ga perlu ada polisi.”
“.....” aku hanya terdiam
“sekarang, kamu tegak di tiang bendera.” ia menunjuk tiang bendera yang berada tepat di tengah lapangan
“.....” aku mulai berjalan
“tunggu, aku belum dengar sesuatu yang seharusnya aku dengar” ia berkacak pinggang
“maaf, terima kasih, kak!” aku membungkuk
“ya, sama-sama”

Aku berlari meninggalkan seniorku yang galak, dengan diiringi tawa para peserta MOS lainnya. Aku meletakkan semangka yang berat, tepat di sebelah kananku. Aku menoleh ke arah kanan yang ternyata telah ditempati oleh seseorang. (http://fiction-area.blogspot.com/) Ia tampak lucu dengan kunciran rambut yang sangat banyak. Akupun mulai tertawa kecil, mendengar tawaku, ia menoleh kesal kepadaku. Akupun terdiam menatap wajahnya yang tampak serius. Ia melayangkan sebuah tamparan yang cukup menyakitkan kearah pipi kananku. Aku tak sempat berkata-kata, ia pergi meninggalkanku begitu saja dan disambut oleh tawa yang keras dari seluruh orang. Aku berlari menghampirinya, namun belum sempat aku menyusulnya seorang senior menarikku dan menempatkanku kembali pada tiang bendera yang kini mulai terasa panas.
Hampir seluruh peserta MOS sibuk dengan bekal masing-masing. Aku menatap lurus ke arah perempuan tadi, ia tampak kebingungan. Tanpa ragu-ragu aku mendekatinya, untuk meminta maaf. Aku mengulurkan tanganku memasang wajah sedih sebagai rasa bersalah atas apa yang aku lakukan tadi pagi. Ia menampik tanganku keras
“mau apa kamu kesini?” ia membentak
“aku, mau minta maaf. Aku tau aku salah, jadi, maukan kamu maafin aku?” aku menjelaskan
“.....” ia hanya terdiam
“ bagaimana, sebagai permintaan maaf, bekal ini untuk kamu!” aku menyodorkan bekalku
“untuk apa?” ia bingung
“aku liat, kamu ga bawa bekal. Jadi lebih baik, kamu ambil ini sebelum ketahuan ama senior” aku menjelaskan
“makasih,” ia menunjukkan senyum simpulnya
“aku adit” aku mengulurkan tanganku
“aku icha.”

###

Aku melintasi koridor kelas bersama icha, kami baru saja menghabiskan waktu istirahat disebuah perpustakaan sekolah. Tanpa kami sadari seseorang menghampiri kami. Dia adalah cici, sahabat baiknya icha sejak smp. Ia menarik tangan icha.
“cha, aku pengen ngomong. Tapi ini rahasia.” Cici melihat kearahku.
“Icha, aku duluan ya. Dagh.” Aku melambaikan tanganku
“Dagh.” Icha membalas pelan
“Cha, kamu pacaran ya ama adit?” cici bertanya
“ga, kok! Emang kamu tau dari mana ci?”
“biasa gossip anak-anak. Tau, ga? Gara-gara gossip ini Rangga jadi patah hati ama kamu.” Cici menjelaskan dengan antusias.
“beneran? Aduh gawat dong! Gue kan suka ama dia.” Icha panic
“gini aja, untuk nguji rasa dia ama kamu, aku rela jadi pacar gadungannya.”
“maksud kamu?” Icha bingung
“aku bakalan nembak ia, kalo dia terima, kita liat reaksinya, gimana?”
“sip deh, tapi ingat, jangan suka beneran ya,! Iya,”
aku memperhatikannya dari jauh. Kupasang senyum simpul, yang beratikan aku telah mengerti sesuatu. Aku meninggalkan koridor aula menuju kelas untuk memulai pelajaran.

###

pagi ini aku melihatnya sedang duduk di pojok kantin. Namun, belum sampai aku duduk di depannya, ia langsung pergi. Aku merasa ada sesuatu yang aneh dari Icha. Ini pasati akibat aku menguping pembicaraan Icha dan Cici kemaren. Aku membuka sebuah buku dan merobek bagian tengahnya. Aku mulai mrnuliskan kata demi kata pada kertas yang aku robek tadi. (http://fiction-area.blogspot.com/) Aku menggenggam pertas tersebut, kemudian melemparkannya tepat di atas meja cici yang tak jauh dari tempat dudukku.

Aku tau rencana kalian!

Cici melihat kearahku, aku menganggkat bahu. Cicipun mengahmpiri mejaku dan meletakkan kertas yang aku berikan kepadanya tadi. Ia menunjuk ke arah tulisan yang tertera di kertas tersebut.
“Kamu ga perlu melakukan semua itu demi Icha. Karena aku yang akan menyelesaikan semuanya. Pliss, percaya ama aku!.” aku berdiri dan segera meninggalkan Cici disertai bunyi bel yang nyaring.

Belum sempat aku keluar dari kelas, Rangga tiba-tiba saja muncul dihadapanku. Aku menatapnya, namun ia mengalihkan pandangannya dariku kepada Cici yang telah berada di belakanku. Tampaknya sepasang kekasih itu akan menikmati waktu istirahat yang singkat. Aku meninggalkan Cici dan Rangga yang sedang duduk di bangku depan kelas, menuju kela Icha yang berjarak dua ruang kelas dari kelasku.
Aku melambai ke arah Icha, ia menatapku namun, ia tak membalas lambaian yang aku tujukan kepadanya. Seseorang menghampiriku,
“Cha, Aditmu nyari, tuh!.” Ia berteriak ke arah Icha yang kemudia disambut sorak sorai dari dalam kelas. Ichapun menghampiriku
“Ada perlu apa kamu sama aku?” Ia bertanya dengan nada sedikit ketus.
“Jangan marah, dong Cha. Biarin aja mereka kayak gitu'” aku tak menjawab pertanyaannya.
“Jadi, ada perluapa?”
“Aku cuma pengen balikin buku ini.” aku menyodorkan sebuah buku kepadanya.

Ia menerima buku itu. Namun aku melihat wajahnyabegitu sedih dan pucat. Ia tampak seperti orang yang sedang sakit.
“Cha, kamu kenapa sih?” aku memasang wajah serius.
“Gara-gara kamu sering nyamperin aku, kita dikirain pacaran. Kamu tau kan, aku ga suka ama kamu.” ia menjawab dengan cepat.
“ya, itukan cuma gosip. Uda la ga usah didengar.” aku menjawab dengan santai, namun tampaknya Icha tidak suka dengan jawabanku.
“Kamunya memang santai, tapi akunya engak! Aku ga suka diginiin.” suaranya yang keras menggema dalam ruangan keras.
“Cha, sorry!” aku meminta maaf pada Icha yang mulai menitikkan air mata.

Icha berlari keluar kelas dengan cepat. Aku tak dapat menghalanginya. Aku merasa amat bersalah kepada Icha. Salah seorang teman Icha menghampiriku. Ia menggelengkan kepalanya.
“Kamu bukan pacarnya Icha?” ia bertanya
“Bukan!” jawabku singkat

Aku meninggalkan kelas Icha dengan perasaan yang berkecamuk. Kesal, marah, sedih, dan rasa bersalah, semua bercampur menjadi satu. Aku meninggalkan kelasnya dengan tertunduk lesu, andai saja waktu dapa tberputar. Dari kejauhan aku melihat Rangga, seperti sedang berjalan kearahku. Tiba- tiba saja aku merasa takut, seakan-akan satu ton batu menimpa punggungku. Rangga semakin berjalan sangat dekat, kini, ia tampak begitudekat. (http://fiction-area.blogspot.com/) Ia menatapku, refleks, aku mengucapkkan salam kepadanya. Namun, sebuah tonjokan keras mengarah ke pipi kakanku. Aku merasa sangat sakit, tapi aku menyembunyikannya dibalik senyum yang simpul. Ia memegang kerah bajuku, dan mendorongku hinggs tersungkut tepat disamping pintu kelas.
“He, kamu apain Icha? Kenapa dia jadi nangis?” Suaranya terdengar begitu keras

Aku hanya terdiam sambil memegang pipi kananku yang terasa begitu sakit. Aku memalingkan wajahku dari hadapannya. Ia mengangkatku dan akupun berdiri.
“Jawab, ayo jawab! Dari awal aku curiga ama kamu, dan ternyata, benar saja!” Ia menekan hidungku dengan menggunakan jari telunjuknya.
“Emang aku salah apa?” Aku bertanya seperti orang yang bingung
“Jadi kamu ga tau? Kamu ga tau? Kamu itu udah bikin Icha sedih karena kamu ngaku-ngaku pacarnya Icha.
Tapi, sekarang aku udah tau, kalo semua itu cuma akal-akalan kamuuntuk bisa dapatin Icah, iya kan?”

Aku hanya terdiam aku tatap Icha yang berada tepat di belakang Rangga. Ia menarik Rangga pelan mencoba menenangkannya dengan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Ranggapun menatap kearahku, kebencian begitu memenuhi wajahnya. Aku hanya tersenyum seraya meminta maaf, dan akupun berbalik dari hadapan mereka.
Aku memetuskan untuk pindah dari sekolah ini dan memulai kisah baru di sekolah yang baru, tanpa bayangan Icha yang selalu mengikutiku. (http://fiction-area.blogspot.com/) Kini, aku berada di kota ini yang begitu membuatku nyaman. Namun, entah mengapa aku merasa masih ada yang kurang, apa karena Icah? Entahlah, aku hanya dapat berharap suatu saat nanti ia dapat bahagia dengan Rangga yang mencintainya. Aku tidak akan pernah lupa dengan pertemuan pertamaku dengan Icha, yang membuat aku merasakan cinta sejati. Di bawah sinar mentari.

Rabu, 20 Juli 2011

VILLA

by : Fitria Ningrum

Pagi telah menjelang, ku alihkan pandangan kearah jam yang tergantung di dinding. Jam telah menunjukkan pukul 06.26 wib, dengan segera aku beranjak menuju kamar mandi. Setelah selesai dengan urusan perlengkapan, aku segera berlari menuju ruang makan. Aku hanya mengambil selembar roti sebagai ganjalan perutku. Tanpa banyak aktivitas lain, aku segera meninggalkan bagasi dengan cepat. Kulirik jam tanganku, pukul 06.48. Ah, masih ada waktu batinku. Aku melesat diatas jalan raya yang padat, oleh serbuan kendaraan bermesin. Aku membelokkan motorku kearah kanan jalan yang padat ini, dan mulai memasuki kawasan perkantoran. Beberapa karyawan tampak sibuk dengan urusannya, tak terkecuali aku yang mencoba mempercepat laju kendaraanku. Aku berhenti di depan pagar minimalis yang berwarna abu-abu pekat. Sial, aku terlambat kali ini. Aku mencoba bernegosiasi dengan satpam untuk memberiku izin masuk.(http://fiction-area.blogspot.com/)
"pak, tolong, sekali ini aja. Ya pak, plisss" aku memasang muka sedih
"ga bisa, kamu harus nunggu yang lain datang. Kalau udah banyak, baru bisa masuk."
"aduh, pak. Saya baru kali ini telat lo, pak! Plis, pak izini saya masuk."
"ga bisa peraturannya sudah seperti itu, kamu tau, kan?"
"yaudah de, terserah bapak aja!"
Percuma saja, usahaku untuk bernegosiasi telah dipatahkan dari awal. Memang susah menyuap satpam dengan pengalaman yang tinggi. Aku duduk termenung di atas motorku, menunggu murid lain yang bernasib sama denganku. Benar saja, beberapa orang murid berseragam sama denganku tampak jalan dengan tertunduk lesu. Mereka tidak menikmati keterlambatan seperti yang aku lakukan. Tiba-tiba, mataku tertuju pada sebuah honda jazz merah yang berhenti tepat di depan motorku. Seorang perempuan keluar dari dalam mobil itu, ia melambai kearahku. Aku membalas lambaiannya, ternyata itu adalah tria. Hari ini dia bernasib sama denganku. Setelah cukup banyak murid berkumpul, pagarpun dibuka.satu per satu murid mencatatkan nama mereka pada piagam penghargaan atas keterlambatan mereka. Yaitu berupa pengurangan poin. Setelah mencatatkan namaku pada buku rekor itu, akupun bergegas menuju kelas.
@@@
Ting tong ting tong,...

Bel istirahat telah berbunyi, serentak seluruh warga sekolah menuju kantin, untuk mengisi kekosongan perut yang (http://fiction-area.blogspot.com/)dikarenakan aktifitas yang padat. Tak terkecuali aku dan grup kecilku yang sedang menikmati bakso di pojok kantin.
"guys, sial banget gue pagi ni!" tria memulai dengan semangat
"iya, gue juga!" aku mendramatisir
"emang ada apaan sih?"tio bertanya seperti seorang wartawan.
"tadi pagi, gue telat! Jadi kena poin deh gue." tria menjelaskan
"lo juga telat gung?" tanya diana kepadaku
"iya, mana gue disuruh nunggu ampe yang lain pada datang lagi." jelasku panjang lebar
"iya, kita pada ngerti kok, sob. Yang sabar ya!"tio memberi semangat
"karena hari ini gue telat, lo pada gue traktir deh." tria mengejutkan kami dengan kata-katanya yang indah
"yakin, lo tri?" diana bertanya seolah yang baru saja didengarnya adalah mimpi.
"yakin, nih, gue bayarin ya!" ia menunjukkan uang limapuluh ribuan yang ada di tangannya.
"tu anak baik banget ya, ama kita" aku mendramatisir lagi
"biasa aja napa, dia kan anak orkay. Ga masalah dong sekali-kali nraktir kita."
"ehmm. Uda masuk nih guys." tria menyambung pembicaraan kami
"bener? Waduh gawat gue ada ulangan biologi nih, guys bantu gue ya, plis!" tio memelas
"okb! Okelah kalo begitu, ntar sms ya," aku menambahkan
"hush, apaain sih, ga usah, biar dia usaha ndiri. Sapa suruh lo ga belajar" diana memotong
"yauda, gue capcus duluan, ye"
"yuk, mari" aku mengakhiri pembicaraan kami yang disambut tawa oleh yang lain
Ah, ga rugi aku punya teman seperti mereka, meskipun beda aliran, kami mampu mengisi kekosongan satu dengan yang lainnya. Tria anak orang kaya, yang baik + cantik. Diana anak klub basket yang prestasinya segudang. Dan tio temen dari sd, sekaligus sepupu jauhku. Mereka adalah sahabat yang sangat berarti bagiku. Aku harap, kebersamaan ini tak akan pernah berakhir, ataupun hilang terbawa waktu.
@@@
Sudah satu jam kami duduk di depan rumahku. Entah berapa lama lagi kami harus menunggu. Ponselku berbunyi,(http://fiction-area.blogspot.com/) aku mulai membaca nama yang tertera pada layar ponselku. Ternyata hanya sebuah pesan yang berasal dari diana. Aku menunjukkan isi dari pesan yang diana kirim, kepada tria yang duduk dihadapanku.
"apaan sih?" tanya tio
"diana bilang, dia ga ada yang nganter." aku menjelaskan.
"yaelah, kenapa baru bilang. Uda ampe berjamur nih gue." protes tio
"uda, jangan ribut mulu, mending kita langsung ke rumah diana." tria memberi saran
"oke, kita berangkat!" aku menambahkan
Hari ini adalah hari pertama dari libur panjang semester kami. Tria menawarkan liburan di salah satu villa milik keluarganya secara cuma-cuma. Betapa tidak, kami langsung menyetujuinya. Beberapa antrian panjang tampak terlihat di pusat-pusat hiburan. Liburan memang identik dengan rekreasi untuk melampiaskan rasa lelah dan capek atas segala aktivitas. Tidak bisa dipungkiri lagi, manusia memang membutuhkan istirahat dan rekreasi.
Mobil kami berhenti di depan sebuah villa yang bisa dibilang cukup besar. Aku mulai menurunkan barang bawaan kami satu persatu, Tio mulai mencari perhatian Tria yang sedari tadi tengah sibuk dengan kopernya yang tampak cukup berat. Namun sayangnya, Tria malah memanggilku untuk membantunya. Mungkin karena aku bertubuh lebih tegap daripada Tio yang bisa dibilang kurus.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur, mencoba beristirahat dari kelelahan yang ku derita. Selama diperjalanan memang tidak terasa, namu jika sudah sampai barulah lelah datang menerpa. Mataku mulai tertutup, aku mulai memasuki alam bawah sadarku dan mendekati mimpi dari tidurku. (http://fiction-area.blogspot.com/)
Aku terbangun oleh suara teriakan, dengan segera aku berlari mencari sumber suara. Suara ituterdengar seperti suara Diana yang ketakutan. Aku tak dapat menemukannya dari dalam Villa, aku berputar arah dan dengan segera menuju luar Villa. Aku tidak melihat satupunn dari merela berada di depan Villa, aku menuju arah belakang dengan cepat. Aku melihat Tio sedangmemegang pisau yang berlumuran darah, aku terkejut dan segera mendorongnya hingga terjatuh ke tanah.
“Apa yang kamu lakukan? Kamu, kamu,.. mana Diana, mana?” Aku memegang kerahnya erat-erat.
“Sabar sob, kamu kenapa? Datang-datang malah marah!” Ia terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba.
“Apa yang kamu lakukan dengan pisau dan...” Aku terkejut melihat Diana dan Tria tengah berdiri di atas bangku taman.
“Oh, ini? Kita lagi motong ikan, tapi Diana ama Tria ternyata geli ngeliat ikan yang menggeliat di atas tanah karena jatuh.” Ia menjelaskan panjang kebar.
Semua tertawa melihat ekspresiku yang tampak berlebihan. Aku hanya mengaruk kepala saking malunya. (http://fiction-area.blogspot.com/)
Makan malam telah siap dan tertata rapi di atas meja makan yang kecil. Aku mengambil beberapa sendok nasi dan beberapa potong ikan. Hanya aku dan Diana yang duduk di meja makan ini aku heran, dimana Tria dang Tio? Baru sajaaku memikirkan mereka, merekanpun muncul namun anehnya Tio nampak sangat aneh dia tidak ribut seperti biasa. Aku mulai bertanya-tanya. Aku memegang pundaknya, ia hanya menggeleng pelan. Satu-persatu makanan mulai habis, saking capeknya, tidak ada satupun dari kami yang berbincang sehabis makan, semua telah menuju kamar masing-masing. Padahal, jam masih menunjukkan pukul 07.50.(http://fiction-area.blogspot.com/)
seseorang mengetuk pintu kamarku, sehingga aku terbangun dari tidurku. Aku melihat ke arah jam, jam masih menunjukkan pukul 23.26. siapa yang membangunkanku di saat larut malam seperti ini. Aku membuka pintu perlahan, ternyata Tiolah yang mengetuk pintuku. Ia berbisik ke arahku, setelah selesai, akupun menyuruhnya untuk masuk ke dalam kamarku. Ia duduk di atas kasur, akupun duduk di sebelahnya. Ia mulai meraih remote TV yang berada di atas meja kecil di samping kasur. Ia mencari siarang yang layak untuk ditonton. Akhirnya kami menemukan satu siaran, yang sangat layak bahkan sangat disayangkan untuk dilewatkan. Yaitu, BOLA.
“Gung, aku mo bilang sesuatu. Tadi, aku udah bilang ke Tria kalo aku suka ama dia. Tapi, dia bilang dia suka sama kamu.”
“Maksud kamu apa Ti?”(http://fiction-area.blogspot.com/)
“Kamu pikri sendir aja deh, aku udah malas!”
Ia membantingkan remote TV ke atas kasur dan meninggalkan kamarku. Mengapa sampai sekarang aku belum dapat mengerti apa yang terjadi diantara kami. Apa mungkin karena kurangnya komunikasi? Tapi, aku merasakomunikasi antara kami sudah cukup terjalin dengan baik. Semuaa ini membuat kepalaku pusing. Lebih baik aku segera tidur.
@@@

pagi ini Tio tidak menyapaku, bahkan Diana dan Tria mulai bersikap dingin denganku. Hal ini terbukti saat sarapan tidak ada satupun dari mereka yang berbicara denganku.(http://fiction-area.blogspot.com/) Hatiku mulai bertanya-tanya ada apakah gerangan di balik semua cerita ini? Tiba-tiba sebuah mangga melayang ke arahku, mengenai tepat di bagian pipi kiriku. Aku yang terkejut, langsung jatuh. Rasanya begitu sakit, aku hanya mampu menahan sakit. Tio menghampiriku dan mengambil mangga itu. Namun, ia berlalu begitu saja. Aku yang tidak terima dengan tingkahnya, mengejar Tio dengan wajah merah padam. Aku melayangkan sebuah tonjokan tepat di bagian pipi kirinya.
“kita impas!” aku tertawa
“maumu apa?” ia bertanya
“Eh, kan kamu tadi ngelempar aku pake mangga, jadi aku bales!” aku menjelaskan.
“Ya bales pake mangga la, aku aneh ya ama kamu, mau kamu apa sih?”
“Ti, aku ga mau nyari masalah, ya! Mending kita damai aja!” Aku mencoba menenangkan Tio yang tampak emosi
“Eh, kamu tu yang nyari masalah!” ia mengangkat kerahku. Dan menjatuhkanku ke tanah.
Aku tak bisa menerima ini, bagiku, ini adalah hinaan. Perkelahianpun terjadi antara aku dan Tio. Kami saling membalas pukulan. Tria dan Diana hanya bisa diam melihat kami berkelahi. Mereka tidak mencoba melerai kami. Aku jadi semakin bingung dengan semua yang terjadi.
“eh, jangan karena kamu ditolak ama Tria, sekarang kamu malah, dendam ama aku!” aku berteriak.(http://fiction-area.blogspot.com/)
“ya, emang! Semua ini gara-gara kamu, kalo aja kamu ga ada, semua pasti ga bakalan begini.” ia balas berteriak kepadaku.
“kamu jangan egois la, pikirin juga perasaan Tria. Toh aku aja ga ngambil pusing! Plakk!” sebuah tamparan mendarat di pipiku.
“Enak banget ya kamu bilang jangan ambil pusing! Kamu pikir dia apaan? Ha?”
tiba-tiba air jatuh mengenai kepalaku, disusul oleh lemparan-lemparan telur dan tepung. Aku terlihat seperti adonan kue yang tinggal dimasak. Semua tertawa tetapi tidak denganku. Mereka menghampiriku satu persatu.
“Selamat ulang tahun ya, sob!” Tria mengucapkan selamat kepadaku
“HBD ya, sob. Yang tadi jangan dimasuki hati. Itu cuma ritual sebelum acara pelemparan telur.” Tio memunculkan senyum jahatnya
“Selamat Ultah ya, Gung! Sorry buat telurplus tepungnya” Diana tertawa.
Ternyata kecurigaan aku tak terbukti. Mereka sangat peduli padaku, hingga menyiapkan acara yang hancur. Meskipun begitu ternyata curiga yang tak jelas tidak baik untuk aku pikirkan.(http://fiction-area.blogspot.com/)ah, di Villa ini terukir kenangan di hari ulang tahunku yang begitu indah, meskipun berujung telur busuk.

Di bawah Sinar Mentari

Oleh : Fitria Ningrum

Rintik hujan mulai berjatuhan, aku berjalan dengan cepat. Aku melihat sebuah cafe yang tampak tidak begitu ramai pengunjung. Setelah memesan minuman hangat, aku mengeluarkan sebuah buku. Tak ada yang dapat kulakukan saat cuaca seperti ini, selain menunggu hingga hujan berhenti. Seorang pelayan, mengahmpiriku. Ia menyodorkan sebuah gelas kepadaku. Baru saja aku menikmati cappucino hangat milikku, iapun melintas di depanku. Aku mengalihkan pandanganku ke arahnya. Ia tampak begitu jelas dari sisi ini. Aku memperhatikannya diam-diam. Pikiranku mulai mencoba mengingat masa laluku yang singkat dengannya. Aku tidak menyesal telah melepaskannya, karena aku tahu kebahagiaannya jauh lebih penting dari keegoisanku.
Aku mengaguminya sejak pertama kali aku berkenalan dengannya. Dia adalah perempuan pertama yang mampu menarik perhatianku. Namun, aku tidak mempunyai keberanian yang kuat untuk menyatakan perasaanku. Kini, aku hanya bisa memendam rasa dalam hatiku. Meskipun terlihat mendramatisir, tapi inilah aku, seseorang dengan perasaan yang tak berharga.(http://fiction-area.blogspot.com/)
Hujan sudah berhenti, aku bergegas meninggalkan tempat ini. Kupandang ia untuk terakhir kalinya. Ingin ku menghampirinya untuk sekedar memberi salam. Namun, aku rasa sudah cukup rasa sakit ini menderaku. Aku tak ingin ada orang lain yang tau penderitaanku karena menyayanginya. Tiba-tiba ia memandangku, aku melambaikan tangan agar ia tak merasa aku sedang memperhatikannya. Ia membalas lambaian ku, aku memberikan senyum terakhir, sebelum akhirnya aku meninggalkan tempat ini.

###

Dua tahun yang lalu...

Aku berlari menuju lapangan susah payah, dengan menenteng sebuah semangka yang bisa dibilang berat. Tiba-tiba seseorang berdiri dihadapanku, aku yang terkejut tak sempat menghentikan langkahku sehingga akupun terjatuh. Ia menunjukku, memberi isarat kepadaku agar aku berdiri.
“he, di rumah kamu punya jam ga, sih?” nadanya sedikit membentak
“pu, punya kak.” aku menjawab patuh
kalo punya, kamu harusnya tau waktu.”
“maaf kak,”
“denger, kalo kata maaf bisa nyelesaikan masalah, ga perlu ada polisi.”
“.....” aku hanya terdiam
“sekarang, kamu tegak di tiang bendera.” ia menunjuk tiang bendera yang berada tepat di tengah lapangan
“.....” aku mulai berjalan
“tunggu, aku belum dengar sesuatu yang seharusnya aku dengar” ia berkacak pinggang
“maaf, terima kasih, kak!” aku membungkuk
“ya, sama-sama”
Aku berlari meninggalkan seniorku yang galak, dengan diiringi tawa para peserta MOS lainnya. Aku meletakkan semangka yang berat, tepat di sebelah kananku. Aku menoleh ke arah kanan yang ternyata telah ditempati oleh seseorang. Ia tampak lucu dengan kunciran rambut yang sangat banyak. Akupun mulai tertawa kecil, mendengar tawaku, ia menoleh kesal kepadaku. Akupun terdiam menatap wajahnya yang tampak serius. Ia melayangkan sebuah tamparan yang cukup menyakitkan kearah pipi kananku. Aku tak sempat berkata-kata, ia pergi meninggalkanku begitu saja dan disambut oleh tawa yang keras dari seluruh orang. Aku berlari menghampirinya, namun belum sempat aku menyusulnya seorang senior menarikku dan menempatkanku kembali pada tiang bendera yang kini mulai terasa panas. (http://fiction-area.blogspot.com/)
Hampir seluruh peserta MOS sibuk dengan bekal masing-masing. Aku menatap lurus ke arah perempuan tadi, ia tampak kebingungan. Tanpa ragu-ragu aku mendekatinya, untuk meminta maaf. Aku mengulurkan tanganku memasang wajah sedih sebagai rasa bersalah atas apa yang aku lakukan tadi pagi. Ia menampik tanganku keras
“mau apa kamu kesini?” ia membentak
“aku, mau minta maaf. Aku tau aku salah, jadi, maukan kamu maafin aku?” aku menjelaskan
“.....” ia hanya terdiam
“ bagaimana, sebagai permintaan maaf, bekal ini untuk kamu!” aku menyodorkan bekalku
“untuk apa?” ia bingung
“aku liat, kamu ga bawa bekal. Jadi lebih baik, kamu ambil ini sebelum ketahuan ama senior” aku menjelaskan
“makasih,” ia menunjukkan senyum simpulnya
“aku adit” aku mengulurkan tanganku
“aku icha.”

###

Aku melintasi koridor kelas bersama icha, kami baru saja menghabiskan waktu istirahat disebuah perpustakaan sekolah. Tanpa kami sadari seseorang menghampiri kami. Dia adalah cici, sahabat baiknya icha sejak smp. Ia menarik tangan icha.
“cha, aku pengen ngomong. Tapi ini rahasia.” Cici melihat kearahku.
“Icha, aku duluan ya. Dagh.” Aku melambaikan tanganku
“Dagh.” Icha membalas pelan
“Cha, kamu pacaran ya ama adit?” cici bertanya
“ga, kok! Emang kamu tau dari mana ci?”
“biasa gossip anak-anak. Tau, ga? Gara-gara gossip ini Rangga jadi patah hati ama kamu.” Cici menjelaskan dengan antusias.
“beneran? Aduh gawat dong! Gue kan suka ama dia.” Icha panic
“gini aja, untuk nguji rasa dia ama kamu, aku rela jadi pacar gadungannya.”
“maksud kamu?” Icha bingung
“aku bakalan nembak ia, kalo dia terima, kita liat reaksinya, gimana?”
“sip deh, tapi ingat, jangan suka beneran ya,! Iya,”
(http://fiction-area.blogspot.com/)
aku memperhatikannya dari jauh. Kupasang senyum simpul, yang beratikan aku telah mengerti sesuatu. Aku meninggalkan koridor aula menuju kelas untuk memulai pelajaran.

###

pagi ini aku melihatnya sedang duduk di pojok kantin. Namun, belum sampai aku duduk di depannya, ia langsung pergi. Aku merasa ada sesuatu yang aneh dari Icha. Ini pasati akibat aku menguping pembicaraan Icha dan Cici kemaren. Aku membuka sebuah buku dan merobek bagian tengahnya. Aku mulai mrnuliskan kata demi kata pada kertas yang aku robek tadi. Aku menggenggam pertas tersebut, kemudian melemparkannya tepat di atas meja cici yang tak jauh dari tempat dudukku.
Aku tau rencana kalian!
Cici melihat kearahku, aku menganggkat bahu. Cicipun mengahmpiri mejaku dan meletakkan kertas yang aku berikan kepadanya tadi. Ia menunjuk ke arah tulisan yang tertera di kertas tersebut.
“Kamu ga perlu melakukan semua itu demi Icha. Karena aku yang akan menyelesaikan semuanya. Pliss, percaya ama aku!.” aku berdiri dan segera meninggalkan Cici disertai bunyi bel yang nyaring.
Belum sempat aku keluar dari kelas, Rangga tiba-tiba saja muncul dihadapanku. Aku menatapnya, namun ia mengalihkan pandangannya dariku kepada Cici yang telah berada di belakanku. Tampaknya sepasang kekasih itu akan menikmati waktu istirahat yang singkat. Aku meninggalkan Cici dan Rangga yang sedang duduk di bangku depan kelas, menuju kela Icha yang berjarak dua ruang kelas dari kelasku.
Aku melambai ke arah Icha, ia menatapku namun, ia tak membalas lambaian yang aku tujukan kepadanya. Seseorang menghampiriku,
“Cha, Aditmu nyari, tuh!.” Ia berteriak ke arah Icha yang kemudia disambut sorak sorai dari dalam kelas. Ichapun menghampiriku
“Ada perlu apa kamu sama aku?” Ia bertanya dengan nada sedikit ketus.
“Jangan marah, dong Cha. Biarin aja mereka kayak gitu'” aku tak menjawab pertanyaannya.
“Jadi, ada perlu apa?”
“Aku cuma pengen balikin buku ini.” aku menyodorkan sebuah buku kepadanya.
Ia menerima buku itu. Namun aku melihat wajahnyabegitu sedih dan pucat. Ia tampak seperti orang yang sedang sakit.
“Cha, kamu kenapa sih?” aku memasang wajahserius.
“Gara-gara kamu sering nyamperin aku, kita dikirain pacaran. Kamu tau kan, aku ga suka ama kamu.” ia menjawab dengan cepat.
“ya, itukan cuma gosip. Uda la ga usah didengar.” aku menjawab dengan santai, namun tampaknya Icha tidak suka dengan jawabanku.
“Kamunya memang santai, tapi akunya engak! Aku ga suka diginiin.” suaranya yang keras menggema dalam ruangan keras.
“Cha, sorry!” aku meminta maaf pada Icha yang mulai menitikkan air mata.
Icha berlari keluar kelas dengan cepat. Aku tak dapat menghalanginya. Aku merasa amat bersalah kepada Icha. Salah seorang teman Icha menghampiriku. Ia menggelengkan kepalanya.
“Kamu bukan pacarnya Icha?” ia bertanya
“Bukan!” jawabku singkat
Aku meninggalkan kelas Icha dengan perasaan yang berkecamuk. Kesal, marah, sedih, dan rasa bersalah, semua bercampur menjadi satu. Aku meninggalkan kelasnya dengan tertunduk lesu, andai saja waktu dapa tberputar. Dari kejauhan aku melihat Rangga, seperti sedang berjalan kearahku. Tiba- tiba saja aku merasa takut, seakan-akan satu ton batu menimpa punggungku. Rangga semakin berjalan sangat dekat, kini, ia tampak begitudekat. Ia menatapku, refleks, aku mengucapkkan salam kepadanya. Namun, sebuah tonjokan keras mengarah ke pipi kakanku. Aku merasa sangat sakit, tapi aku menyembunyikannya dibalik senyum yang simpul. Ia memegang kerah bajuku, dan mendorongku hinggs tersungkut tepat disamping pintu kelas. (http://fiction-area.blogspot.com/)
“He, kamu apain Icha? Kenapa dia jadi nangis?” Suaranya terdengar begitu keras
Aku hanya terdiam sambil memegang pipi kananku yang terasa begitu sakit. Aku memalingkan wajahku dari hadapannya. Ia mengangkatku dan akupun berdiri.
“Jawab, ayo jawab! Dari awal aku curiga ama kamu, dan ternyata, benar saja!” Ia menekan hidungku dengan menggunakan jari telunjuknya.
“Emang aku salah apa?” Aku bertanya seperti orang yang bingung
“Jadi kamu ga tau? Kamu ga tau? Kamu itu udah bikin Icha sedih karena kamu ngaku-ngaku pacarnya Icha. Tapi, sekarang aku udah tau, kalo semua itu cuma akal-akalan kamuuntuk bisa dapatin Icah, iya kan?”
Aku hanya terdiam aku tatap Icha yang berada tepat di belakang Rangga. Ia menarik Rangga pelan mencoba menenangkannya dengan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Ranggapun menatap kearahku, kebencian begitu memenuhi wajahnya. Aku hanya tersenyum seraya meminta maaf, dan akupun berbalik dari hadapan mereka. (http://fiction-area.blogspot.com/)
Aku memetuskan untuk pindah dari sekolah ini dan memulai kisah baru di sekolah yang baru, tanpa bayangan Icha yang selalu mengikutiku. Kini, aku berada di kota ini yang begitu membuatku nyaman. Namun, entah mengapa aku merasa masih ada yang kurang, apa karena Icah? Entahlah, aku hanya dapat berharap suatu saat nanti ia dapat bahagia dengan Rangga yang mencintainya. Aku tidak akan pernah lupa dengan pertemuan pertamaku dengan Icha, yang membuat aku merasakan cinta sejati. Di bawah sinar mentari.