Rintik hujan mulai berjatuhan, aku berjalan dengan cepat. Aku melihat sebuah cafe yang tampak tidak begitu ramai pengunjung. Setelah memesan minuman hangat, aku mengeluarkan sebuah buku. Tak ada yang dapat kulakukan saat cuaca seperti ini, selain menunggu hingga hujan berhenti. Seorang pelayan, mengahmpiriku. Ia menyodorkan sebuah gelas kepadaku. Baru saja aku menikmati cappucino hangat milikku, iapun melintas di depanku. Aku mengalihkan pandanganku ke arahnya. Ia tampak begitu jelas dari sisi ini. Aku memperhatikannya diam-diam. Pikiranku mulai mencoba mengingat masa laluku yang singkat dengannya. Aku tidak menyesal telah melepaskannya, karena aku tahu kebahagiaannya jauh lebih penting dari keegoisanku.
Aku mengaguminya sejak pertama kali aku berkenalan dengannya. Dia adalah perempuan pertama yang mampu menarik perhatianku. (http://fiction-area.blogspot.com/) Namun, aku tidak mempunyai keberanian yang kuat untuk menyatakan perasaanku. Kini, aku hanya bisa memendam rasa dalam hatiku. Meskipun terlihat mendramatisir, tapi inilah aku, seseorang dengan perasaan yang tak berharga.
Hujan sudah berhenti, aku bergegas meninggalkan tempat ini. Kupandang ia untuk terakhir kalinya. Ingin ku menghampirinya untuk sekedar memberi salam. Namun, aku rasa sudah cukup rasa sakit ini menderaku. Aku tak ingin ada orang lain yang tau penderitaanku karena menyayanginya. Tiba-tiba ia memandangku, aku melambaikan tangan agar ia tak merasa aku sedang memperhatikannya. Ia membalas lambaian ku, aku memberikan senyum terakhir, sebelum akhirnya aku meninggalkan tempat ini.
###
Dua tahun yang lalu...
Aku berlari menuju lapangan susah payah, dengan menenteng sebuah semangka yang bisa dibilang berat. Tiba-tiba seseorang berdiri dihadapanku, aku yang terkejut tak sempat menghentikan langkahku sehingga akupun terjatuh. Ia menunjukku, memberi isarat kepadaku agar aku berdiri.
“he, di rumah kamu punya jam ga, sih?” nadanya sedikit membentak
“pu, punya kak.” aku menjawab patuh
“kalo punya, kamu harusnya tau waktu.”
“maaf kak,”
“denger, kalo kata maaf bisa nyelesaikan masalah, ga perlu ada polisi.”
“.....” aku hanya terdiam
“sekarang, kamu tegak di tiang bendera.” ia menunjuk tiang bendera yang berada tepat di tengah lapangan
“.....” aku mulai berjalan
“tunggu, aku belum dengar sesuatu yang seharusnya aku dengar” ia berkacak pinggang
“maaf, terima kasih, kak!” aku membungkuk
“ya, sama-sama”
Aku berlari meninggalkan seniorku yang galak, dengan diiringi tawa para peserta MOS lainnya. Aku meletakkan semangka yang berat, tepat di sebelah kananku. Aku menoleh ke arah kanan yang ternyata telah ditempati oleh seseorang. (http://fiction-area.blogspot.com/) Ia tampak lucu dengan kunciran rambut yang sangat banyak. Akupun mulai tertawa kecil, mendengar tawaku, ia menoleh kesal kepadaku. Akupun terdiam menatap wajahnya yang tampak serius. Ia melayangkan sebuah tamparan yang cukup menyakitkan kearah pipi kananku. Aku tak sempat berkata-kata, ia pergi meninggalkanku begitu saja dan disambut oleh tawa yang keras dari seluruh orang. Aku berlari menghampirinya, namun belum sempat aku menyusulnya seorang senior menarikku dan menempatkanku kembali pada tiang bendera yang kini mulai terasa panas.
Hampir seluruh peserta MOS sibuk dengan bekal masing-masing. Aku menatap lurus ke arah perempuan tadi, ia tampak kebingungan. Tanpa ragu-ragu aku mendekatinya, untuk meminta maaf. Aku mengulurkan tanganku memasang wajah sedih sebagai rasa bersalah atas apa yang aku lakukan tadi pagi. Ia menampik tanganku keras
“mau apa kamu kesini?” ia membentak
“aku, mau minta maaf. Aku tau aku salah, jadi, maukan kamu maafin aku?” aku menjelaskan
“.....” ia hanya terdiam
“ bagaimana, sebagai permintaan maaf, bekal ini untuk kamu!” aku menyodorkan bekalku
“untuk apa?” ia bingung
“aku liat, kamu ga bawa bekal. Jadi lebih baik, kamu ambil ini sebelum ketahuan ama senior” aku menjelaskan
“makasih,” ia menunjukkan senyum simpulnya
“aku adit” aku mengulurkan tanganku
“aku icha.”
###
Aku melintasi koridor kelas bersama icha, kami baru saja menghabiskan waktu istirahat disebuah perpustakaan sekolah. Tanpa kami sadari seseorang menghampiri kami. Dia adalah cici, sahabat baiknya icha sejak smp. Ia menarik tangan icha.
“cha, aku pengen ngomong. Tapi ini rahasia.” Cici melihat kearahku.
“Icha, aku duluan ya. Dagh.” Aku melambaikan tanganku
“Dagh.” Icha membalas pelan
“Cha, kamu pacaran ya ama adit?” cici bertanya
“ga, kok! Emang kamu tau dari mana ci?”
“biasa gossip anak-anak. Tau, ga? Gara-gara gossip ini Rangga jadi patah hati ama kamu.” Cici menjelaskan dengan antusias.
“beneran? Aduh gawat dong! Gue kan suka ama dia.” Icha panic
“gini aja, untuk nguji rasa dia ama kamu, aku rela jadi pacar gadungannya.”
“maksud kamu?” Icha bingung
“aku bakalan nembak ia, kalo dia terima, kita liat reaksinya, gimana?”
“sip deh, tapi ingat, jangan suka beneran ya,! Iya,”
aku memperhatikannya dari jauh. Kupasang senyum simpul, yang beratikan aku telah mengerti sesuatu. Aku meninggalkan koridor aula menuju kelas untuk memulai pelajaran.
###
pagi ini aku melihatnya sedang duduk di pojok kantin. Namun, belum sampai aku duduk di depannya, ia langsung pergi. Aku merasa ada sesuatu yang aneh dari Icha. Ini pasati akibat aku menguping pembicaraan Icha dan Cici kemaren. Aku membuka sebuah buku dan merobek bagian tengahnya. Aku mulai mrnuliskan kata demi kata pada kertas yang aku robek tadi. (http://fiction-area.blogspot.com/) Aku menggenggam pertas tersebut, kemudian melemparkannya tepat di atas meja cici yang tak jauh dari tempat dudukku.
Aku tau rencana kalian!
Cici melihat kearahku, aku menganggkat bahu. Cicipun mengahmpiri mejaku dan meletakkan kertas yang aku berikan kepadanya tadi. Ia menunjuk ke arah tulisan yang tertera di kertas tersebut.
“Kamu ga perlu melakukan semua itu demi Icha. Karena aku yang akan menyelesaikan semuanya. Pliss, percaya ama aku!.” aku berdiri dan segera meninggalkan Cici disertai bunyi bel yang nyaring.
Belum sempat aku keluar dari kelas, Rangga tiba-tiba saja muncul dihadapanku. Aku menatapnya, namun ia mengalihkan pandangannya dariku kepada Cici yang telah berada di belakanku. Tampaknya sepasang kekasih itu akan menikmati waktu istirahat yang singkat. Aku meninggalkan Cici dan Rangga yang sedang duduk di bangku depan kelas, menuju kela Icha yang berjarak dua ruang kelas dari kelasku.
Aku melambai ke arah Icha, ia menatapku namun, ia tak membalas lambaian yang aku tujukan kepadanya. Seseorang menghampiriku,
“Cha, Aditmu nyari, tuh!.” Ia berteriak ke arah Icha yang kemudia disambut sorak sorai dari dalam kelas. Ichapun menghampiriku
“Ada perlu apa kamu sama aku?” Ia bertanya dengan nada sedikit ketus.
“Jangan marah, dong Cha. Biarin aja mereka kayak gitu'” aku tak menjawab pertanyaannya.
“Jadi, ada perluapa?”
“Aku cuma pengen balikin buku ini.” aku menyodorkan sebuah buku kepadanya.
Ia menerima buku itu. Namun aku melihat wajahnyabegitu sedih dan pucat. Ia tampak seperti orang yang sedang sakit.
“Cha, kamu kenapa sih?” aku memasang wajah serius.
“Gara-gara kamu sering nyamperin aku, kita dikirain pacaran. Kamu tau kan, aku ga suka ama kamu.” ia menjawab dengan cepat.
“ya, itukan cuma gosip. Uda la ga usah didengar.” aku menjawab dengan santai, namun tampaknya Icha tidak suka dengan jawabanku.
“Kamunya memang santai, tapi akunya engak! Aku ga suka diginiin.” suaranya yang keras menggema dalam ruangan keras.
“Cha, sorry!” aku meminta maaf pada Icha yang mulai menitikkan air mata.
Icha berlari keluar kelas dengan cepat. Aku tak dapat menghalanginya. Aku merasa amat bersalah kepada Icha. Salah seorang teman Icha menghampiriku. Ia menggelengkan kepalanya.
“Kamu bukan pacarnya Icha?” ia bertanya
“Bukan!” jawabku singkat
Aku meninggalkan kelas Icha dengan perasaan yang berkecamuk. Kesal, marah, sedih, dan rasa bersalah, semua bercampur menjadi satu. Aku meninggalkan kelasnya dengan tertunduk lesu, andai saja waktu dapa tberputar. Dari kejauhan aku melihat Rangga, seperti sedang berjalan kearahku. Tiba- tiba saja aku merasa takut, seakan-akan satu ton batu menimpa punggungku. Rangga semakin berjalan sangat dekat, kini, ia tampak begitudekat. (http://fiction-area.blogspot.com/) Ia menatapku, refleks, aku mengucapkkan salam kepadanya. Namun, sebuah tonjokan keras mengarah ke pipi kakanku. Aku merasa sangat sakit, tapi aku menyembunyikannya dibalik senyum yang simpul. Ia memegang kerah bajuku, dan mendorongku hinggs tersungkut tepat disamping pintu kelas.
“He, kamu apain Icha? Kenapa dia jadi nangis?” Suaranya terdengar begitu keras
Aku hanya terdiam sambil memegang pipi kananku yang terasa begitu sakit. Aku memalingkan wajahku dari hadapannya. Ia mengangkatku dan akupun berdiri.
“Jawab, ayo jawab! Dari awal aku curiga ama kamu, dan ternyata, benar saja!” Ia menekan hidungku dengan menggunakan jari telunjuknya.
“Emang aku salah apa?” Aku bertanya seperti orang yang bingung
“Jadi kamu ga tau? Kamu ga tau? Kamu itu udah bikin Icha sedih karena kamu ngaku-ngaku pacarnya Icha.
Tapi, sekarang aku udah tau, kalo semua itu cuma akal-akalan kamuuntuk bisa dapatin Icah, iya kan?”
Aku hanya terdiam aku tatap Icha yang berada tepat di belakang Rangga. Ia menarik Rangga pelan mencoba menenangkannya dengan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Ranggapun menatap kearahku, kebencian begitu memenuhi wajahnya. Aku hanya tersenyum seraya meminta maaf, dan akupun berbalik dari hadapan mereka.
Aku memetuskan untuk pindah dari sekolah ini dan memulai kisah baru di sekolah yang baru, tanpa bayangan Icha yang selalu mengikutiku. (http://fiction-area.blogspot.com/) Kini, aku berada di kota ini yang begitu membuatku nyaman. Namun, entah mengapa aku merasa masih ada yang kurang, apa karena Icah? Entahlah, aku hanya dapat berharap suatu saat nanti ia dapat bahagia dengan Rangga yang mencintainya. Aku tidak akan pernah lupa dengan pertemuan pertamaku dengan Icha, yang membuat aku merasakan cinta sejati. Di bawah sinar mentari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar